Kali kedua di awal bulan Mei, Front Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) kembali menggelar aksi demonstrasi. Setelah Kamis kemarin (02/05), aksi pertama yang dilakukan di halaman belakang Twin Tower UINSA tidak membuahkan hasil. Sabtu (04/05), bertepatan dengan pelaksanaan prosesi wisuda ke-87, spanduk putih bertuliskan ”Kampus Elite Fasilitas Sedikit Orang Tua Menjerit” dibawa oleh puluhan mahasiswa menuju lobi depan Twin Tower UINSA.
Aksi demonstrasi tersebut kembali meminta kejelasan dan menuntut supaya Masdar Hilmy, Rektor UINSA, menurunkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang dirasa tidak wajar. Bersamaan dengan orasi, sebagian mahasiswa menunjukkan protesnya dengan membakar ban bekas. Bahkan tujuh kali ledakan petasan ikut mewarnai aksi.
“Kami dijanjikan jam 11.00 di sini, Pak. Pak Rektor katanya sudah ada di sini,” teriak salah satu mahasiswa. Menunggu rektor yang tak kunjung datang, mahasiswa secara paksa mencoba masuk ke dalam gedung Twin Tower. Sehingga keributan terjadi antara mahasiswa dan satpam di depan pintu masuk.
Pukul 11.34, Syamsuri Bakhri, Kepala Biro Administrasi Akademik Kerja sama dan Kemahasiswaan (AAKK), menemui mahasiswa dan meminta perwakilan mahasiswa untuk berunding. “Sudah-sudah, tidak ada negosiasi lagi. Pokoknya kalau bukan pak rektor yang turun, jangan mau.” Teriak Marko, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, menyela pembicaraan terkait perundingan yang ditawarkan pihak rektorat.
Satu jam berada di lobi depan, akhirnya rektor menemui massa. Bersamaan dengan Wakil Rektor (Warek) II, Warek III dan beberapa pegawai rektorat. Setelah sambuatan singkat, rektor meminta salah seorang mahasiswa mengutarakan aspirasi yang menjadi inti pembahasan. Rozi, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, menjadi pembuka suara aspirasi mahasiswa terkait mahalnya UKT, juga mempertegas tidak mau ada lagi diskusi dengan pihak rektorat terkait UKT.
“Sudah beberapa kali kami melakukan dialog dengan pihak rektorat, khususnya pihak bagian kemahasiswaan. Tetapi itu hanya selesai di meja diskusi saja, tanpa adanya tindak lanjut,” ungkapnya di depan rektor. “Jadi kami menolak untuk melakukan dialog-dialog apa pun di dalam ruangan, kecuali di ruangan terbuka di hadapan kita semua,” tambahnya.
Rektor kembali meminta mahasiswa agar memberikan waktu untuk proses verifikasi. Namun mahasiswa menolak permintaan rektor, yang dirasa hal tersebut merupakan janji saja yang ditawarkan tanpa adanya bukti. “Sudah tiga tahun kami melakukan protes UKT mahal, Tapi tanggapannya-mulai dari pergantian rektor-tidak ada eksekusi dari aspirasi mahasiswa,” sanggah Abbas, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang tidak terima dengan tawaran pihak rektorat.
Selanjutnya, Yoga, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, menjelaskan bahwa banding UKT untuk Mahasiswa Baru (Maba) tahun 2019 akan dilakukan setelah satu tahun perkuliahan. Hal tersebut juga menimpa adiknya-di tahun 2019 nanti akan kuliah di UINSA, prodi Pendidikan Agama Islam (PAI)- dalam pengisian heregistrasi tidak ada keterangan tingkatan UKT ke berapa. Hasilnya UKT yang harus dibayarkan sebesar sembilan juta, walaupun lulus di jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Rektor mengatakan banding UKT akan dilaksanakan selama dua minggu, akan tetapi mahasiswa masih menolak. Lantaran waktu dua minggu tidaklah cukup untuk memfasilitasi banding UKT. Bahkan validasinya pun akan terkesan terburu-buru nantinya. Mahasiswa tetap meminta waktu yang lebih panjang untuk banding UKT.
Tidak hanya UKT yang dipertanyakan oleh mahasiswa, fasilitas pun tidak luput dari poin tuntutan yang akan disampaikan mahasiswa. “Demi Allah, pak, saya pernah kuliah duduk di lantai, pak,” ucap Yoga dengan lantang. Selain Yoga, mahasiswa lainnya menyuarakan aspirasinya; meminta transparansi antara UKT yang dibayar dengan fasilitas yang didapatkan tidak sesuai harapan.
Rektor meminta kerjasama mahasiswa untuk membuat daftar mahasiswa se-UINSA angkatan 2018 yang dirasa keberatan tentang mahalnya UKT untuk diserahkan ke bagian Akademik. Namun, mahasiswa merasa tidak puas jika tidak ada kesepakatan hitam di atas putih. Mahasiswa meminta rektor untuk menandatagani MoU (Memorandum of Understanding) yang dibuat oleh mahasiswa.
MoU yang dibuat berisikan empat poin tuntutan. Di antaranya, meminta UKT turun, sistem verifikasi kembali ke manual, melengkapi sarana dan prasarana, dan waktu banding UKT satu bulan sebelum pembayaran. Aksi demonstran berakhir setelah Masdar Hilmy, Rektor UINSA, dan Wildan Ainur A. sebagai perwakilan mahasiswa menandatangani MoU yang telah dibuat. (rik)