“Kami ini kuliah merantau. Jangankan pakai ojek online, uang untuk makan sehari-hari saja terkadang masih kurang. Waktu pintu belakang belum ditutup, kami jalan kaki dari kos ke kampus hampir satu kilometer. Karena sekarang ditutup, mungkin bisa sampai dua kilometer lebih.”
MediaSolidaritas.com – Pagi itu, Senin (15/5), tampak beberapa mahasiswa pejalan kaki kebingungan di belakang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya Gunung Anyar. Pasalnya, pintu masuk kampus yang biasa mereka lewati untuk berangkat kuliah digembok dan dijaga oleh satpam.
Beberapa dari mereka ada yang meminta bahkan memohon kepada satpam untuk membuka gembok pagar tersebut. Mengingat waktu perkuliahan yang akan segera dimulai dan apabila memilih untuk mengambil jalan yang memutar, dapat dipastikan mereka akan terlambat.
Bersikukuhnya penjaga tak urung membuat mereka terpaksa balik badan masuk melalui pintu utama. Walaupun harus terlambat dan memutar jalan yang jaraknya hampir satu kilometer.
Melihat kejadian itu, para pedagang di belakang kampus pun terlihat gusar. Ada kurang lebih tujuh warung makan dan warung kopi yang ada di belakang kampus tersebut, yang mana diantaranya ada yang baru selesai dibangun dan baru beberapa hari beroperasi. Kini, mereka hanya bisa berharap-harap cemas. Semoga saja penutupan pagar ini hanya bersifat sementara.
Belum sampai seminggu pintu belakang ditutup, sudah ada aksi penolakan. Demonstrasi yang digelar oleh mahasiswa dan aksi mediasi yang dicoba masyarakat semata-mata demi pintu belakang kampus itu dibuka kembali.
Namun, belum ada hasil yang memuaskan. Dalam press release yang diterbitkan oleh Senat Mahasiswa (SEMA) UINSA pada tanggal 26 Mei, pihak universitas beralasan bahwa pintu belakang kampus tersebut sulit untuk dibuka kembali karena melibatkan pihak ketiga.
Sakit Otak Pegal Badan
Melati, Jaka, dan Sinta (bukan nama sebenarnya) memasuki ruang kelas dengan tergopoh dan keringat membasahi tubuh mereka. Di dalam kelas, sudah duduk seorang dosen yang terlihat sibuk dengan laptop di mejanya, serta rekan-rekan sekelas yang tengah melakukan presentasi di depan kelas.
Hari ini, Melati, Jaka, dan Sinta datang terlambat. Mereka adalah mahasiswa rantauan semester enam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Beberapa hari belakangan, mereka memang sering terlambat masuk kelas. Sebab, setelah pintu belakang kampus UINSA Gunung Anyar ditutup, mereka harus berjalan kaki sejauh dua kilometer untuk berangkat ke kampus.
Bagi mereka, kuliah di kota orang bukanlah hal yang mudah. Selain harus bergelut dengan buku dan tugas perkuliahan, ancaman penyakit maag dan kaki pegal karena tidak adanya kendaraan menjadi tantangan tersendiri.
“Aku sudah semester enam, mau bawa motor dari kampung pun tanggung, ongkosnya mahal. Apalagi di kampung juga sepeda motor cuma satu, itu pun dibawa sama bapak buat kerja. Kalau di bawa kesini (Surabaya, red) nanti bapak pakai apa?” ujar Melati.
Kini, beban perkuliahan mereka semakin bertambah dengan ditutupnya pintu belakang kampus yang membuat mereka harus melewati jalan yang lebih jauh, sebab jalan terdekat yang dulu mereka lalui untuk berangkat kuliah sudah tidak bisa lagi digunakan.
“Semenjak pintu itu ditutup, kalau mau berangkat itu kayak malas banget. Bayangin waktu jalan kaki, panas, dan jauh. Ditambah waktu masuk kelas keringetan semua sampai baju basah, bau,” keluh Sinta.
Di tengah hari, mahasiswa mengeluhkan kesulitan dalam mencari makan siang. Sebenarnya, kampus menyediakan kantin yang berlokasi di belakang gedung Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK). Namun, karena fasilitas kantin yang kurang memadai dan banyaknya civitas akademika yang butuh makan siang, membuat antrian jadi begitu panjang.
Terhitung ada lima gerai warung yang disediakan, namun yang aktif hanya dua gerai. Ya, 2 gerai warung untuk melayani mahasiswa, dosen, dan pegawai yang ada di kampus UINSA Gunung Anyar.
Tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa yang tidak punya kendaraan bukan hanya pada saat berangkat dan saat istirahat saja. Bahkan untuk pulang pun mahasiswa diuji kembali dengan intensitas kendaraan di sore hari dan jalanan sekitar kampus yang belum ramah pejalan kaki.
Pada pukul empat sore, Melati, Jaka, dan Sinta bersiap untuk pulang. Namun, mereka memilih untuk beristirahat sejenak di lorong kampus tepat di tepi lapangan rumput yang eksklusif dan tidak boleh diinjak.
“Bagaimana caranya pulang? Cape. Lewat pintu utama juga rasanya was-was. Akses jalan kurang nyaman buat dilewati,” tutur Jaka.
Berbeda dengan jalan yang ada di kampus UINSA Ahmad Yani, di kampus UINSA Gunung Anyar memang belum ramah pejalan kaki. Jalan raya yang berada di depan kampus belum memiliki trotoar yang layak seperti di kampus Ahmad Yani . Jalan berdebu dan intensitas kendaraan yang lalu lalang membuat pejalan kaki harus ekstra hati-hati untuk menghindari lubang dan klakson kendaraan.
Melati, Jaka, dan Sinta adalah bagian dari mereka yang terdampak atas penutupan pintu pagar belakang kampus Gunung Anyar. Pintu yang lebarnya kurang dari dua meter tersebut sudah seperti pintu keramat yang memiliki dampak besar kepada mahasiswa dan masyarakat. Mereka berharap segera ada solusi dari pihak rektorat kampus sehingga pintu pagar bisa segera dibuka kembali.
“Kami memohon dengan sangat kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan penutupan (pintu pagar, red) ini, agar kami diberikan solusi. Jalan kaki sejauh itu sangat memberatkan kami,” ujar Jaka yang mendapat anggukan dari kedua temannya.
Kampus Ala Pabrik
Sejak pertama kali digunakan, banyak perbedaan antara kampus UINSA Ahmad Yani dengan kampus UINSA Gunung Anyar. Mulai dari fasilitas sampai peraturan yang ada. Di kampus Ahmad Yani, terdapat banyak fasilitas kemahasiswaan yang bisa digunakan oleh mahasiswa seperti halaman, ruang diskusi, dan berbagai fasilitas publik sebagai pengganti kelas.
Sedangkan di kampus Gunung Anyar, selain fasilitas untuk kegiatan mahasiswa di luar ruang kelas yang terbatas, bahkan parkiran untuk mahasiswa yang membawa kendaraan pun kurang memadai. Beberapa marka atau penanda jalan yang bertuliskan “R-2” yang artinya adalah jalan pengguna roda dua sering kali beralih fungsi menjadi lahan parkir.
Peraturan yang dikeluarkan oleh pihak rektorat kampus membuat mahasiswa seperti buruh pabrik yang setiap hari berangkat pagi dan pulang di sore hari. Pasalnya, segala aktivitas perkuliahan di dalam gedung dibatasi maksimal jam empat sore.
Aktivitas di luar kampus bagi komunitas, dan ruang-ruang diskusi di sekeliling lingkungan kampus dibatasi hingga jam sembilan malam. Beberapa diskusi yang diadakan oleh mahasiswa bahkan di tegur oleh satpam sekitar jam tujuh malam dengan dalih akses pintu keluar utama yang cukup rawan apabila dilalui waktu malam hari.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Yono, Wakil Presiden Mahasiswa UINSA. Yono beranggapan bahwa mahasiswa UINSA Gunung Anyar sengaja disetel untuk menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang, kuliah pulang), karena terbatasnya tempat untuk mahasiswa yang ingin berkegiatan setelah kuliah usai.
“Mahasiswa sini (UINSA Gunung Anyar, red) itu disetel untuk kuliah-pulang kuliah-pulang. Karena tidak ada gazebo dan tempat berkumpul, jadi mahasiswa dibuat habis kuliah langsung pulang. Berbeda dengan di kampus UINSA Ahmad Yani,” ujar mahasiswa Sosiologi tersebut.
Hal yang lebih keras disampaikan oleh Sabil Mukhlisin yang merupakan Aktivis Mahasiswa Hubungan Internasional yang kerap melakukan kegiatan-kegiatan seperti bedah buku dan kajian-kajian keilmuan di sekitar kampus UINSA Gunung Anyar.
“Kampus UINSA Gunung Anyar seolah tidak pantas disebut sebagai salah satu fasilitas perguruan tinggi untuk menyemai dan mencetak generasi-generasi intelektual bangsa. Pantasnya dialih fungsikan sebagai pabrik saja karena segala fasilitas dan peraturan-peraturan yang ada tidak sesuai dengan aktivitas kemahasiswaan yang telah menjadi budaya yang seharusnya,” ujar pria yang kerap disapa Sabil tersebut.
Sabil mengungkapkan bahwa kurangnya fasilitas diskusi dan berkegiatan yang ada di kampus Gunung Anyar membuatnya harus mengeluarkan uang lebih untuk melakukan kajian dan bedah buku.
Salah satu tempat yang layak untuk dijadikan tempat diskusi adalah warung kopi yang ada di belakang kampus, karena di warung belakang tersebut tersedia beberapa fasilitas penunjang.
“Mahasiswa UINSA kampus Gunung Anyar kini secara tidak langsung dicetak sebagai ‘Buruh Akademik’ oleh kampus yang diwajibkan menghasilkan karya ilmiah dan mempekerjakan otaknya dari pagi dan sampai sore,” kata Sabil.
Kini, setelah pintu belakang itu ditutup, semakin sempit tempat untuk diskusi dan berkumpul bagi mahasiswa UINSA Gunung Anyar.
Menagih Janji UINSA
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPMK) Gunung Anyar Muhammad Muchson sangat menyesalkan keputusan penutupan pintu belakang kampus. Sebab, banyak warga dan mahasiswa yang menggantungkan hidup pada pintu yang lebarnya tak lebih dari dua meter tersebut.
“Setelah pintu itu ditutup, banyak warga yang datang ke saya menanyakan alasan ditutupnya pintu itu. Padahal, sebelum kampus UINSA Gunung Anyar dibangun sudah ada perjanjian bahwasannya UINSA harus memberdayakan warga sekitar,” terang Muchson.
Muchson mengatakan bahwa masyarakat yang datang untuk menanyakan hal tersebut kebanyakan adalah para pemilik indekos di sekitar pintu belakang yang khawatir akan banyak mahasiswa yang pindah lokasi indekos. Ada pula dari pedagang yang pendapatannya berkurang setelah ditutupnya pintu tersebut.
Setelah lama berdiskusi, Muchson menunjukkan foto surat perjanjian yang berjudul Resume Hasil Rapat antara UIN, PT Adi Karya (kontraktor UINSA), dengan Warga LPMK, RW, dan RT. Dalam resume hasil rapat tersebut, terdapat beberapa perjanjian yang disepakati antara lain:
- Pembukaan saluran air dan pembangunan box culvert.
- Perbaikan Balai RW 03 oleh PT Adi Karya.
- Pemberdayaan masyarakat sekitar selama proyek dibangun oleh PT Adi Karya.
- Pemberdayaan masyarakat setelah proyek selesai oleh UIN.
- Jalan di tengah UIN untuk umum dan setelah terbangunnya UIN dapat dilalui oleh masyarakat sekitar.
- Persetujuan pengajuan proposal yang diajukan oleh RT, RW, LPMK Gunung Anyar (Internal).
Dalam surat tersebut terlihat ada 5 tanda tangan, tanda tangan pihak UINSA atas nama Zaini, tanda tangan pihak PT Adi Karya atas nama Somad, tanda tangan RT atas nama Sumadi, tanda tangan RW tak bernama, dan terakhir tanda tangan LPMK atas nama Kamdi.
“Mana janjinya UIN? Perannya UIN di sini itu mana? Jangan sampai nanti ketika ada pembangunan lagi, warga disini malah nolak,” tagih Muchson emosional.
Terhitung sudah beberapa kali Muchson menghubungi UINSA untuk audiensi, namun tidak pernah ada tanggapan. Selanjutnya, Muchson menghubungi pihak kelurahan dan meminta untuk dilakukan audiensi dengan UINSA, namun tidak ditanggapi dengan serius.
Tak putus asa, Muchson langsung menghubungi pihak kecamatan Gunung Anyar. Pihak kecamatan kemudian mengeluarkan surat undangan audiensi, namun masih belum ditanggapi dengan serius.
“Apabila masih belum ada tanggapan serius dari UINSA, nanti akan saya laporkan kepada DPRD kota Surabaya,” ujar Muchson.
UINSA Memilih Menjadi Menara Gading
Terhitung sudah 24 hari setelah pintu belakang tersebut ditutup. Berbagai upaya audiensi telah coba dilakukan, namun di antara semua upaya mediasi yang dilakukan, hanya mediasi dengan DEMA-U yang terlaksana. Sedangkan, upaya audiensi yang dicoba warga tidak pernah ada tanggapan serius dari UINSA.
Ali Yusa, Anggota Dewan Pendidikan Jawa Timur yang juga merupakan warga Gunung Anyar, turut serta mengawal kasus ini. Ia mengatakan bahwa UINSA telah memilih untuk menjadi menara gading.
“Seharusnya perguruan tinggi itu mampu memberikan kemakmuran kepada warga sekitar. Dengan ditutupnya pintu belakang kampus UINSA Gunung Anyar artinya UINSA memilih untuk menjadi menara gading yang mencoba menjauh dari warga,” kata Ali menyesalkan.
Ali menyatakan bahwa ia sudah menghubungi Rektor Akhmad Muzzaki melalui pesan aplikasi WhatsApp, menanyakan terkait perjanjian di resume rapat tertandatangani. Ali yang memang mengenal Muzakki secara personal mengaku mendapatkan tanggapan dengan baik.
Mereka adalah kerabat dan bagian dari Dewan Pendidikan Jawa Timur, yang mana pada periode 2016-2021 lalu, Muzzaki merupakan ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur tersebut.
“Waktu Pak Muchson cerita, saya langsung chat Prof. Zaki. Kebetulan saya mengenal beliau, namun beliau menyerahkannya pada Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan (AUPK) UINSA, namanya Pak Muhtar Hazawawi,” papar Ali.
Setelah mendapatkan lampu hijau, Ali langsung menghubungi Muhtar untuk meminta dilakukan audiensi terkait penutupan pintu belakang kampus. Sayangnya, lagi-lagi tidak ditanggapi serius.
“Ini, lihat (percakapan WhatsApp, red). Sudah lima kali saya hubungi sama sekali tidak dibalas,” ujar Ali sambil menunjukkan percakapan WhatsApp di ponselnya.
Ali berharap bahwa hubungan warga dengan UINSA tetap baik. Karena tidak baiknya hubungan antara kampus dan masyarakat sekitar akan berdampak kepada kehidupan mahasiswa.
Audiensi Tanpa Konklusi
Selasa (27/6), kru Solidaritas mendapat kabar bahwa akan dilakukan audiensi di hari itu antara masyarakat Gunung Anyar dengan pihak UINSA yang akan dihadiri oleh Achmad Zaini dan Iwan dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UINSA.
Sementara dari pihak masyarakat dihadiri oleh LPMK, Bintara Pembina Desa (Babinsa), Polsek Gunung Anyar, pihak Kecamatan Gunung Anyar, pihak Kelurahan Gunung Anyar, ketua RW 01, 02, & 03, dan beberapa ketua RT serta mahasiswa FISIP yang diundang dengan kuota tiga orang.
Audiensi tersebut dilakukan di Kantor Kecamatan Gunung Anyar lantai 2 pada pukul 10.00 WIB. Audiensi diawali dengan aduan masyarakat mengenai pintu utara, pintu tengah UIN, dan pemaparan map UINSA kampus Gunung Anyar. Lalu dilanjutkan dengan penagihan janji pada kesepakatan sebelum proyek pembangunan kampus yang berlangsung oleh LPMK ke pihak UIN.
“Program pemberdayaan dari UINSA itu ada dua, yaitu pemberdayaan melalui program-program fakultas bagi masyarakat dan pemberdayaan melalui pemberian kesempatan masyarakat untuk kuliah di UINSA,” terang Achmad Zaini.
Kepala LPPM tersebut juga menjelaskan bahwa akses jalan utara sebenarnya tidak ada, hanya diperuntukkan tukang saja. Pun pihak UIN telah menyediakan kios-kios bagi warga Gunung Anyar, namun warga keberatan dengan sewa kios yang mahal sekitar 9-12 juta pertahun.
Mengenai akses jalan tengah, Zaini memaparkan akses jalan tengah tersebut tetap dibuka bagi masyarakat. Namun mahasiswa tetap dilarang untuk keluar.
“Harganya (di warung belakang kampus, red) lebih murah. Jadi banyak yang lebih memilih ke sana dan membuat pihak kantin protes,” terang pria tersebut yang juga menambahkan bahwa hal itu merupakan kebijakan dari pimpinan.
Hal tersebut ditanggapi oleh Syahril Jauhari, perwakilan SEMA FISIP, yang menyatakan bahwa fasilitas pada kantin tersebut belum memadai. Ia menceritakan bahwa pernah ada beberapa mahasiswa yang sedang ngopi di kantin tersebut tetapi disuruh pergi dengan dalih tempatnya harus bergantian.
Zaini kemudian menawarkan pemindahan warung untuk dimasukkan ke dalam area kampus, namun ditolak oleh warga dengan rasionalisasi keterbatasan tempat dan biaya sewa yang mahal.
“Nanti kantin-kantin tersebut akan kami perluas,” putusnya.
Pembahasan kembali beralih ke pintu belakang. Syahril menerangkan bawa pintu gerbang timur yang telah dibuka belum menjadi solusi karena kondisi yang tidak ramah pejalan kaki, tepatnya trotoar yang sempit di Jl. Ir H. Soekarno (Merr). Sehingga mahasiswa masih menggunakan ojek online untuk mengaksesnya.
“Sudah seharusnya pintu belakang dapat berfungsi sebagaimana pintu Gang Dosen di kampus UINSA Ahmad Yani,” ujarnya.
Muchson menambahkan dampak-dampak lain akibat penutupan pintu tersebut yang tentu berpengaruh besar pada ekonomi masyarakat. Mulai dari pemilik warung, indekos, sampai pedagang keliling.
“Akan segera saya sampaikan ke pimpinan,” tanggap Zaini yang mengundang raut kekecewaan warga. Salah seorang warga kembali menuntut, jika tidak ada kepastian akan melancarkan aksi demonstrasi.
Iwan pun mencoba menenangkan bahwa kasus ini juga pernah terjadi belaan tahun lalu pada kampus UINSA Ahmad Yani. Sebagaimana yang diketahui bahwa UINSA berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) dan berstatus BLU. UINSA diperiksa secara ketat oleh pihak audit, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), irjen, dan mencakup di wilayah sekitar UINSA juga. Sehingga terdapat perjanjian dengan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) untuk menutup UINSA dari luar.
“Untuk saat ini, kami akan mengutamakan rekrutmen pemberdayaan masyarakat Gunung Anyar,” tutup Iwan.
Reporter: Rizky Alpama
Editor: Tanaya Az Zhara