MediaSolidaritas.com – Ada dua pertanyaan yang kerap kali muncul menjelang bulan Ramadan atau bulan Syawal, yakni “Besok puasa gak, ya?” atau “Lebaran ikut siapa, ya?”
Dua pertanyaan tersebut tak lain penyebabnya adalah perbedaan cara pendekatan penentuan tanggal 1 Ramadan dan 1 Syawal antara organisasi agama Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Kementerian Agama (Kemenag).
Muhammadiyah telah menetapkan 1 Syawal atau hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah bahkan ketika masih di awal-awal puasa, yang mana akan jatuh pada Jumat (21/4). Sedangkan NU masih akan melalukan pemantauan hilal dan dilanjutkan dengan sidang isbat oleh Kemenag untuk menentukan 1 Syawal 1444 H.
Tak heran terkadang warga Muhammadiyah berlebaran lebih awal, sedangkan warga NU atau ngikut pemerintah masih berpuasa. Kadang pun, beberapa kali keduanya secara bersamaan melaksanakan puasa dan merayakan lebaran.
Abdulloh Hamid, dosen Matematika Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA) menjelaskan bahwa NU dan Muhammadiyah sebenarnya sama-sama menggunakan hisab (perhitungan), namun metode yang digunakan keduanya berbeda.
“Muhammadiyah menggunakan wujudul hilal, ketika hilal sudah terlihat nol derajat bisa dipastikan memasuki bulan baru jadi keesokannya bisa berpuasa,” ujar Hamid.
Sedangkan, NU menggunakan metode rukyatul hilal, metode ini dilakukan untuk memastikan kembali hilal telah muncul atau belum. Jadi, NU harus mengecek terlebih dahulu hilal dapat terlihat dengan jelas atau tidak dan perhitungannya harus di atas dua derajat baru bisa memastikan keesokannya berpuasa.
“Muhammadiyah hisab yang penting lebih dari nol, walaupun kurang dari dua derajat. Sedangkan, NU harus melihat secara langsung dan dipastikan di atas dua derajat. Muhammadiyah sudah menetapkan. NU nunggu liat bulan terlebih dahulu,” tegas Hamid.
Tak berbeda jauh, Hanif, dosen Kalkulus UINSA menambahkan bahwa perbedaan penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal antara NU dan Muhammadiyah terjadi karena perbedaan pemahaman dan penafsiran hadis.
NU dalam perhitungannya menggunakan rukyat atau melihat hilal dengan mata telanjang karena memahami hadis bahwa hilal harus dilihat dengan mata tidak hanya dengan hisab.
“Sama-sama benar karena mereka hanya berbeda dalam penafsiran hadis. Bagi teman-teman NU itu harus dilihat dulu. Sedangkan bagi teman-teman Muhammadiyah melihat itu tidak harus dengan mata, tetapi bisa dihitung saja,” tutur Hanif.
Kedua metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Masalah ini hanya sebuah ijtihad, semua ijtihad itu benar dan sebagai sesama muslim harus saling menghargai.
Terkait penanggalan organisasi keagamaan lain, selain kedua organisasi tersebut mereka mengikuti hasil musyawarah pemerintah, yang diadakan oleh lembaga Kemenag.
Selain itu, bagi yang mempunyai hutang puasa dan lupa belum diganti ketika sudah memasuki bulan Ramadan, menurut Muhammadiyah masih bisa mengganti, tetapi syarat tertentu.
Syaratnya adalah ketika dari awal sudah memakai metode yang digunakan NU, maka masih boleh mengganti puasa, selama penetapan NU belum ada. Sedangkan, ketika dari awal sudah memakai metode yang digunakan oleh Muhammadiyah berarti sudah tidak bisa mengganti puasanya.
“Jika dari awal sudah mengikuti perhitungan NU maka nanti lebaran mengikuti hitungan NU. begitu sebaliknya. Tetapi tahun ini NU dan Muhammadiyah bareng puasanya dan untuk lebaran akan ada perbedaan perbedaan,” tegas Hamid.
Kira-kira tahun ini akankah Muhammadiyah dan NU merayakan Idul Fitri bersamaan? Ataukah tragedi “Lebaran 2011” terulang kembali?
Penulis: Sheika Tri Mevia
Editor: Nabila Wardah