Menyingkap Istilah Tobrut: Bahaya Seksisme yang Kian Dinormalisasi
Bahaya Humor Seksis yang Kian Dinormalisasi-Pexels
OPINI

Menyingkap Istilah Tobrut: Bahaya Seksisme yang Kian Dinormalisasi

MediaSolidaritas.com-Istilah seksisme kian marak terjadi di tengah masyarakat kita. Ironisnya kini ungkapan-ungkapan seksis telah menjadi makanan sehari-hari yang kian dinormalisasi oleh masyarakat.

Mengutip dari situs Magdalene.co, seksisme berkaitan erat dengan kepercayaan fundamental tentang kodrat alami perempuan dan laki-laki, serta peran mereka dalam masyarakat. Anggapan seksis merupakan konsepsi gender yang mempercayai bahwa satu gender dipandang lebih baik daripada gender lainnya.

Seksisme dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan, namun seringkali korban seksisme adalah perempuan. Belakangan istilah tobrut, rahim anget dan masih banyak lagi kerap disebut baik di media maya maupun di dunia nyata. 

Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan istilah seksis yang tak banyak disadari oleh masyarakat. Lebih mirisnya lagi, istilah tobrut seperti menjadi identitas yang melekat pada seorang perempuan. Kebanyakan dari mereka menganggap itu sebagai sebuah kebenaran bahkan ada yang dengan bangga mengakuinya.

Tobrut merupakan istilah gaul yang bermakna negatif yang pertama kali dipopulerkan di media sosial TikTok dan X. Istilah tobrut merujuk pada bentuk payudara perempuan yang memiliki ukuran diatas normal dan mencolok. Tobrut seringkali digunakan dalam percakapan sehari-hari oleh anak muda dalam konteks candaan.

Berdasarkan riset yang dilakukan penulis terhadap beberapa mahasiswa dan mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya ditemukan perspektif berbeda terkait istilah tobrut.

Jeni mengaku risih terhadap seseorang yang melontarkan kata tobrut meskipun dalam konteks candaan. Menurutnya istilah tersebut bukan merupakan candaan yang asik tapi lebih kepada pelecehan terhadap perempuan dalam bentuk catcalling.

Ia menambahkan bahwa seringkali perempuan yang menjadi korban catcalling tidak bisa mengutarakan kemarahannya karena sebagian besar masyarakat telah menganggap bahwa hal tersebut hanyalah hal biasa, toh catcalling atau candaan tobrut tidak menghilangkan apapun dari si korban. 

Minimnya edukasi terhadap kekerasan seksual terutama kekerasan verbal inilah yang semakin melanggengkan istilah-istilah seksis di tengah masyarakat. Masih banyak perempuan yang rentan terhadap kekerasan verbal namun tidak menyadari akan hal tersebut. 

Seperti yang diungkapkan oleh Lala, mahasiswi asal Surabaya yang menganggap bahwa istilah tobrut biasa saja, tergantung siapa yang menyampaikan dan bagaimana intonasinya.

“Teman-teman cowok ku sering ngomong tobrut. Awalnya aku merasa risih, tapi lama-lama tau kalau itu hanya candaan saja, jadi ya biasa aja,” ungkapnya. 

Apa yang dilakukan Lala tidak sepenuhnya salah. Hal tersebut sangat mungkin terjadi di era post-truth saat ini, sehingga masyarakat seringkali menganggap sesuatu menjadi hal yang biasa ketika hal tersebut diulang atau diucapkan secara terus-menerus sampai akhirnya hal itu dipercaya sebagai suatu kebenaran.

Menurut Dewi Candraningrum, pemerhati gender dari Jurnal Perempuan mengungkapkan bahwa humor seksis yaitu humor yang memandang inferior, menghina bentuk dan ukuran tubuh, menjadikan objek seks, dan segala hal yang bersifat merendahkan gender tertentu.

Humor seksis yang dianggap lumrah bagi masyarakat akan berdampak pada pandangan lazim terhadap seksisme dan pelecehan seksual. Humor yang bermuatan seksual jika dianggap lazim akan membentuk rape culture yang membuat perempuan dianggap sebagai objek seksual yang layak untuk didiskriminasi.

Rahmat, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum mengungkapkan bahwa istilah tobrut hanyalah sebatas candaan saja. Namun hal tersebut bisa terlontarkan dari seorang laki-laki karena ia menganggap bahwa seperti itulah kodrat laki-laki ketika melihat perempuan. 

Sesungguhnya ia menyadari bahwa jika dipikirkan lebih jauh istilah tersebut dapat termasuk dalam pelecehan verbal terhadap perempuan namun ia juga tidak bisa menentangnya karena masyarakat di sekitarnya menganggap hal tersebut hanya sebatas humor belaka.

Rahmat tentu tidak bisa menjadi patokan bahwa semua laki-laki berpikiran sama. Tentu ada pula laki-laki yang memahami bahwa istilah tersebut merupakan bagian dari pelecehan verbal terhadap perempuan apapun itu konteks penggunaannya.

Dari ketiga narasumber tersebut dapat kita lihat bahwa minimnya literasi dan edukasi terhadap kekerasan seksual khususnya di lingkungan kampus, menjadikan budaya seksisme semakin dinormalisasi.

Ironisnya yang terjadi saat ini, perempuan sebagai korban utama dalam praktik seksisme tidak menyadari dan ikut menjadi aktor dalam melanggengkan budaya seksis dalam masyarakat.

Alih-alih memberikan suara keberatan, sebagian perempuan malah memvalidasi hal tersebut. Sikap inilah yang seringkali membuat perempuan yang merasa menjadi korban enggan untuk buka suara karena takut dianggap baperan.

Padahal hal tersebut sah-sah saja untuk mengungkapkan rasa keberatan terhadap istilah yang dianggap merendahkan kodrat perempuan tersebut. Humor seksis merupakan bentuk kekerasan simbolik pada perempuan yang tidak boleh dinormalisasi.

Thomas E. Ford, professor of Social Psychology dari Western California University dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa orang yang kerap terpapar oleh humor seksis akan mempengaruhi psikologis orang tersebut sehingga memiliki level toleransi yang tinggi terhadap pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan. 

Humor seksis memiliki dampak besar yang seringkali tidak disadari. Kebanyakan orang merespon humor seksis dengan nada positif dengan dalih hanya candaan. Hal tersebut akhirnya membuat korban seksisme mengabaikan rasa tidak nyaman yang diterimanya.

Pengabaian tersebut juga merupakan dampak dari budaya patriarki yang telah tertanam kuat dalam masyarakat sehingga korban pelecehan menginternalisasi nilai-nilai patriarki tanpa disadari.

Berdasarkan situs WomenKind World Wide, setidaknya ada dua cara untuk mengurangi budaya seksis yang terjadi di tengah masyarakat.

Pertama, berhenti menertawakannya dan menganggap humor seksis adalah bahan candaan. Sadari bahwa humor seksis bukan sekedar candaan, namun terdapat unsur penghinaan terhadap gender tertentu. 

Kedua, tegur secara langsung ketika menyadari bahwa seseorang telah melontarkan humor seksis yang merendahkan martabat seseorang.

Seringkali seseorang tidak menyadari bahwa candaan mereka merupakan humor seksis sehingga tidak perlu takut dan terpaksa tertawa hanya agar dianggap asik oleh lingkungan sekitar. Sampaikan dengan jelas dan tegas bahwa candaan yang dilontarkan telah merendahkan dan merugikan orang lain. 

Penulis : Alfi Damayanti

Post Comment