MediaSolidaritas.com-Dalam tatanan hukum internasional, hak imunitas negara memiliki peranan penting dalam menjaga stabilitas dan kesetaraan antarnegara. Hak ini memberikan perlindungan kepada negara dari yurisdiksi pengadilan asing sehingga memungkinkan mereka menjalankan tupoksinya tanpa ada hambatan berupa intervensi dari pihak luar.
Prinsip ini didasarkan pada konsep kedaulatan negara, dalam perkembangannya telah menjadi landasan dalam hubungan internasional. Kendati demikian, di balik prinsip yang mulia ini juga tersembunyi berbagai problematika yang dapat menimbulkan perdebatan di kalangan pemerhati hukum dan praktisi internasional.
Penerapan hak imunitas negara tidak selalu berjalan mulus dan seringkali menimbulkan dilema Ketika terdapat konflik dalam pengimplementasiannya, terutama ketika berhadapan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
Tulisan ini akan mengupas prinsip dasar hak imunitas negara, perkembangan sejarahnya, serta problematika yang muncul dalam penerapannya. Diharapkan pembaca dapat memahami kompleksitas dan tantangan yang dihadapi dalam menjaga keseimbangan antara kedaulatan negara dan keadilan internasional.
Sekilas tentang Hak Imunitas Negara
Secara umum imunitas merupakan terjemahan dari kata “immunity” yang berarti kekebalan. Kekebalan berasal dari kata kebal yang dalam bidang hukum artinya tidak dapat dituntut. Dalam Konteks negara, hak imunitas negara adalah prinsip hukum yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada suatu negara dari yurisdiksi pengadilan asing.
Hal ini berarti bahwa negara tidak dapat diadili di pengadilan negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan. Prinsip ini berasal dari konsep kedaulatan negara yang mengakui bahwa setiap negara merupakan entitas yang berdaulat dan tidak dapat dihakimi oleh negara lain.
Prinsip imunitas kedaulatan berakar dari abad ke-12 dalam sistem feodal di Inggris. Sistem imunitas kedaulatan ini didasarkan atas tidak dapat dilakukannya pemaksaan terhadap seorang bangsawan atau raja di hadapan pengadilan-pengadilan mereka, lebih dari sekedar paham abstrak yang menyatakan bahwa raja tidak dapat dipersalahkan (the king can do no wrong).
Pada abad ke-16 konsep imunitas kedaulatan berubah yaitu dari imunitas tuntutan menjadi premis bahwa penguasa tidak dapat berbuat salah. Pada abad ke-19 ketika prinsip kedaulatan negara mulai berkembang dalam hukum internasional.
Pada awalnya, hak imunitas negara diterapkan secara mutlak, yang berarti bahwa negara tidak dapat digugat atau dituntut di pengadilan negara lain dalam keadaan apapun tanpa persetujuan negara tersebut.
Namun, seiring berjalannya waktu, prinsip imunitas negara mengalami perubahan secara kompleks dan menjadi lebih terbatas. Pada abad ke-20 muncul pendekatan imunitas terbatas yang menghapus imunitas untuk urusan komersial.
Prinsip ini mengakui bahwa negara masih memiliki imunitas untuk tindakan yang bersifat publik, tetapi tidak untuk tindakan yang bersifat privat atau komersial. Mayoritas pengadilan di seluruh negara di dunia menyetujui bahwa negara-negara asing harus dikecualikan dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial setiap pengadilan nasional.
Mereka juga mengakui bahwa dasar pengecualian tersebut tetap dalam koridor kedaulatan negara-negara itu sendiri. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dasar imunitas dalam hukum internasional dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip kedaulatan, kemerdekaan, persamaan derajat, penghormatan terhadap negara-negara asing, ekstra teritorialitas, sopan santun dan fungsi diplomatik.
Tujuan prinsip hak imunitas negara diantaranya yakni untuk meningkatkan sopan santun dan hubungan baik antar negara melalui penghormatan atas kedaulatan negara lain.
Menurut Paschal Oguno dalam Jurnal internasionalnya yang berjudul “The Concept of State Immunity under International Law: An Overview” menjelaskan bahwa perubahan ini terjadi karena negara-negara mulai melakukan lebih banyak transaksi bisnis internasional.
Selain itu, ada kebutuhan untuk memastikan bahwa negara tidak dapat menggunakan imunitas untuk menghindari tanggung jawab atas tindakan komersial mereka. Pendekatan imunitas terbatas sekarang menjadi standar umum dalam hukum internasional.
Prinsip Dasar Hak Imunitas Negara
Alina Kaczorowska dalam bukunya “Public International Law” mengatakan bahwa Pengakuan umum terhadap imunitas negara didasarkan atas konsep kedaulatan. Keberadaan imunitas negara menurut Alina Kaczowska tidak dapat dilepaskan dari dua prinsip utama, yaitu prinsip Par in parem non habet jurisdiction, dan prinsip non intervention.
Dasar imunitas dalam hukum internasional dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip kedaulatan, kemerdekaan, persamaan derajat, penghormatan terhadap negara-negara asing, ekstra teritorialitas, sopan santun dan fungsi diplomatik.
Pada perkembangannya, hukum internasional bertumbuh berdasarkan premis bahwa kedaulatan-kedaulatan negara tersebut setara antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada kedaulatan suatu negara yang dianggap lebih tinggi dibanding kedaulatan negara lainnya.
Kesamaan kedaulatan tersebutlah yang menjadi dasar logika dan filosofis bagi munculnya norma imunitas negara, bahwasannya para kedaulatan yang setara tidak dapat saling mengadili satu dengan yang lainnya.
Menurut James R. Fox Law, imunitas adalah kebebasan dari kontrol luar hak yang telah ada dan dimiliki oleh setiap negara berdaulat dari proses hukum atau aspek-aspek lainnya dari yurisdiksi teritorial negara lain.
Secara prinsipil ada dua, pertama imunitas yang dimiliki oleh negara asing yang disebut dengan imunitas negara (sovereign or state immunity) dan kedua imunitas yang diperoleh oleh perwakilan diplomatik negara asing (diplomatic immunity).
Doktrin Imunitas negara dalam hukum internasional telah berkembang sedemikian rupa, mulai dari doktrin imunitas mutlak (absolute sovereign immunity) sampai pada imunitas yang relatif (restrictive sovereign immunity).
Imunitas relatif membagi tindakan negara dalam iure imperii dan iure gestionis. Dalam penjelasan sederhananya, iure imperii ialah tindakan negara yang bersifat publik. Artinya, tindakan yang dilakukan negara dalam kapasitasnya sebagai entitas yang berdaulat seperti membuat undang-undang dan pelaksanaan kebijakan publik.
Sedangkan iure gestionis adalah tindakan negara yang bersifat privat. Artinya, tindakan yang dilakukan negara dalam kapasitasnya sebagai entitas komersial, seperti melakukan transaksi perdagangan atau aktivitas bisnis.
Problematika Pengimplementasian Hak Imunitas Negara
Namun diera Modern saat ini, hukum internasional masih mengalami dilema dalam pengimplementasiannya. Kurangnya kepastian hukum (lack of certainty) merupakan salah satu kelemahan hukum internasional yang banyak disorot oleh para pakar hukum internasional.
Martin Dixon dalam bukunya “Textbook on international law” mengemukakan bahwa banyak sengketa antar negara yang timbul akibat tidak jelasnya aturan hukum internasional daripada kesengajaan negara-negara tersebut untuk melakukan sesuatu yang ilegal.
Salah satu adanya ketidakjelasan yang membawa pada ketidakpastian hukum tersebut adalah pada masalah hirarki ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Mochtar Kusumaatmadja dalam tulisannya yang berjudul “Pengantar Hukum Internasional” mengemukakan bahwa urutan macam-macam sumber hukum dalam Pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional tidak menggambarkan urutan pentingnya masing-masing sumber hukum tersebut.
Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa perjanjian internasional kedudukannya lebih tinggi dari hukum kebiasaan internasional meskipun dalam pasal tersebut perjanjian (treaty) disebutkan pada urutan pertama sedangkan hukum kebiasaan internasional (international customary law) pada urutan kedua.
Ketidakjelasan masalah hierarki ini tentu sangat berpotensi menimbulkan persoalan mana yang harus diutamakan apabila terdapat sumber hukum yang satu bertentangan dengan sumber hukum yang lain, mana yang harus diutamakan.
Contoh permasalahan yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan hal ini adalah pada kasus Sulaiman Al Adsani dengan Pemerintah Inggris yang diputus oleh ECHR (European Court of Human Right) tahun 2001.
Dalam kasus ini, Sulaiman Al Adsani seorang warga negara ganda dari Britania Raya dan Kuwait, menggugat Pemerintah Inggris di pengadilan Inggris karena melanggar hak-haknya setelah ia mengalami penyiksaan di Kuwait pada tahun 1991.
Al Adsani menggugat Pemerintah Kuwait atas tindakan penyiksaan yang dilakukannya selama dan setelah invasi Irak ke Kuwait. Namun, pengadilan Inggris menolak mendengarkan gugatan ini berdasarkan prinsip imunitas negara, yang menyatakan bahwa negara tidak dapat diadili di pengadilan asing tanpa persetujuannya.
ECHR (European Court of Human Right) memutuskan Negara Inggris tidak melanggar hak-hak Al Adsani dengan memberikan imunitas kepada Kuwait, karena ECHR (European Court of Human Right) menyatakan bahwa imunitas negara adalah prinsip yang sah dalam hukum internasional.
Meskipun ECHR (European Court of Human Right) mengakui bahwa penyiksaan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius, mereka juga menyatakan bahwa imunitas negara tetap berlaku dalam kasus ini.
Dilema ketika menghadapi masalah imunitas negara sebagai hak yang mendasar dan merupakan hukum kebiasaan internasional yang sudah diakui sejak berabad-abad yang lalu, di satu sisi adanya kenyataan tentang larangan melakukan pelanggaran HAM yang berat berstatus Jus cogens namun di sisi lain praktik pengadilan menunjukkan bahwa mereka mengutamakan imunitas negara.
Sefriani menjelaskan dalam jurnalnya yang berjudul “Imunitas Negara Asing Di Depan Pengadilan Nasional Dalam Kasus Pelanggaran HAM Yang Berat Konsekuensi Hukum Jus Cogens Terhadap Imunitas Negara”, bahwa antara imunitas kedaulatan dengan pelanggaran HAM yang berat adalah dua hal yang berbeda dan terpisah sama sekali sehingga pendapat yang menyatakan bahwa imunitas kedudukannya di bawah jus cogens adalah null and void.
Keberadaan norma hierarki sangatlah penting dalam hukum internasional. Pengakuan adanya jus cogens, peremptory norm membutuhkan kejelasan lebih lanjut dalam hukum internasional.
Prinsip hak imunitas negara mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Hak imunitas negara adalah prinsip penting dalam hukum internasional, prinsip ini juga tidak luput dari kritik.
Beberapa pihak berpendapat bahwa hak imunitas negara dapat digunakan untuk menghindari tanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan ilegal lainnya. Selain itu, penerapan prinsip imunitas terbatas menghadapi tantangan dalam menentukan apakah suatu tindakan bersifat publik atau privat.
Walaupun hukum internasional sebagai sebuah sistem hukum masih terdapat banyak kelemahan dan kendala terutama dalam hal kekuatan yang mengikatnya, penegakan dan penerapan sanksi-sanksi, prinsip kedaulatan negara serta asas local remedies.
Namun, hukum internasional adalah hukum yang hidup, hukum internasional tetap ada dan diperlukan bahkan berkembang semakin pesat, menyentuh hampir setiap aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Begitu meluasnya problematika yang bisa bersinggungan dengan hukum internasional terutama dalam pengimplementasian prinsip hak imunitas negara merupakan bukti perjalanan hidupnya hukum internasional sebagai satu sistem hukum yang diakui dan dibutuhkan oleh negara-negara beradab.
Penulis : Syeh Panjalu Damar
Editor : Alfi Damayanti