MediaSolidaritas.com-Azan magrib mengalun merdu ketika kami memasuki kompleks arca Joko Dolog, sebuah arca yang terletak di pendopo berarsitektur kerajaan Singasari berlokasi di Jalan Taman Apsari, Surabaya. Dua pohon beringin besar di kanan dan kiri pintu masuk Arca Joko Dolog yang tegak dan rimbun menambah kesan teduh kawasan ini. Tampak sesosok lelaki tua yang sedang berjaga sembari tersenyum hangat. Sosok itu ialah Romo Arif, Juru Kunci Arca Joko Dolog.
Meski usianya tak muda lagi, pria berambut gondrong itu bercerita dengan semangat tentang sejarah hingga legenda dari arca Joko Dolog. Bagi Romo Arif, berbagi ilmu kepada generasi muda merupakan salah satu upaya melestarikan budaya nusantara. Ditemani secangkir teh dan kopi, suasana cengkrama bersama Romo Arif kian menghangat bersamaan dimulainya cerita.
Romo Arif berbagi latar belakang bagaimana dirinya bisa menjadi salah satu juru kunci di Joko Dolog. Ia mengaku seperti mendapatkan panggilan alam sedari pertama kali menginjakkan kaki di sana.
“Awal mula saya disini itu sama kakek, kira-kira tahun 70-an. Kakek yang mengajak saya kesini naik sepeda onthel, saat itu umur saya masih 10 tahun. Sejak pertama kali datang, saya merasakan kedamaian,” ucap Romo Arif.
“Tempat ini sudah menjadi bagian dari diri saya,” lanjut Romo Arif usai menyeruput kopinya.
Suasana di dalam pendopo diterangi oleh lampu berwarna kuning tepat di atas arca Joko Dolog, ditambah dengan semerbak wangi dupa dapat memberikan ketenangan bagi para pengunjung. Di ruangan yang terbuka ini pula, para pengunjung bisa menatap langit dengan leluasa.
Romo Arif menuturkan kalau Arca Joko Dolog atau patung dari sosok Jina Mahakshobhya ini sebagai perwujudan dari Kertanegara. Arca ini menjadi simbol penyatuan agama Hindu aliran Siwa dan Buddha aliran Tantrayana; penyatuan kedua agama yang diprakarsai oleh Kertanegara sendiri.
“Saat saya beranjak dewasa, saya mulai belajar di sini. Saya juga diajarkan sembahyang di sini, untuk meneruskan warisan budaya leluhur beserta ajarannya,” imbuh Romo Arif seraya memutar mata ke atas bagai mengingat kembali kejadian dalam rak memorinya.
Kompleks Arca Joko Dolog tak hanya sebagai tempat arca semata. Banyak masyarakat dari berbagai agama datang sebagai wujud menghormati warisan budaya. Tak hanya itu, orang-orang yang datang juga melakukan ibadah di sana. Romo Arif pun menjelaskan dengan tenang sesuai melihat keterkejutan.
“Mayoritas yang datang ke sini beragam, ada orang Islam, Budha, Kristen, Katolik, bahkan Konghucu. Mereka yang datang kesini itu tujuannya untuk menghormati leluhur, berdoa meminta keselamatan kepada sang pencipta bukan ke arcanya ini. Kalau di Islam istilahnya ziarah,” jelasnya.
Dari penuturan dari Romo Arif, ternyata pendopo ini menjadi salah satu wujud toleransi umat beragama.
Semakin malam, obrolan semakin dalam dan seorang bapak-bapak datang mampir. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Bapak Sugiarto, yang ternyata juga juru kunci Kompleks Joko Dolog. Pria yang kerap disapa Pak To itu duduk bersila di depan tiang dan merebahkan punggungnya.
Tak hanya Romo Arif, Pak To pun turut membagikan pengalamannya tentang bagaimana dirinya bisa menjadi juru kunci di sini. Sambil memijit kecil kakinya, ia memulai ceritanya. Tak jauh berbeda dengan Romo Arif, Pak Sugiarto dulunya juga diajak oleh kakeknya ke tempat ini.
“Awalnya saya di sini cuma bantu kakek, untuk berjaga dan membersihkan sekitar. Setelah kakek wafat, saya dipilih untuk melanjutkan tugas kakek di sini,” jelasnya.
Tak disangka-sangka, ternyata Pak To ini adalah seorang muslim sebagaimana ia menunjukkan tempat salatnya.
“Biasanya kalau tidak salat di musala ya di bawah sini,” ujarnya sembari mengurai tangan menunjuk lantai yang lebih bawah letak tempat salat ketika berjaga.
Sebagai seorang muslim yang menjadi juru kunci di tempat Arca, Pak To mengungkapkan kalau ia pernah mendapat cemoohan karena hal itu. Menurutnya, hal tersebut pasti ada karena pemikiran orang yang beragam tidak pernah bisa dicegah.
“Tapi ya saya biasa aja, wong saya di sini tujuannya bekerja,” tuturnya.
Tak lama kemudian, Pak To pamit pulang sebab waktu berjaganya sebenarnya sudah usai. Sebelum pamit, Pak To menuturkan kalau dulu saat masih muda, ia masih kuat-kuatnya berjaga hingga malam.
Tapi usia tak bisa berbohong, rambut putih yang merata di atas kepalanya seakan menjadi saksi perjalanannya selama menjadi juru kunci Joko Dolog. Lantas, Pak To pun bangkit dan bersalaman dengan Romo Arif.
Pemandangan dua insan yang mencari nafkah di bawah atap yang sama dengan latar belakang agama yang berbeda, namun tak pernah ada gesekan satu sama lain.
“Monggo mas Arif,” ditambah senyum yang mengembang di wajahnya, Pak To pamit pergi.
Kisah Romo Arif dan Pak To merupakan wujud nyata toleransi umat beragama. Keduanya dapat bekerja berdampingan dengan baik dalam menjalankan tugasnya, serta saling menghormati kepercayaan masing-masing. Dengan menerapkan prinsip toleransi dan semboyan Bangsa Indonesia yang selalu digaungkan Romo Arif sendiri, “Bhinneka Tunggal Ika” dapat menjadi landasan bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian antar umat beragama.
Penulis : Tasha Faradilla Ramadhani, Dewi Aisyah Alya Pratiwi
Editor : Alfi Damayanti